Jalan DAGO / Jl. Ir. H. Djuanda
Dago
merupakan salah satu icon kota Bandung, sejarah panjang Dago merupakan bagian
yang menarik dari keberadaan Bandung, dimulai dari jalan setapak yang digunakan
petani sebagai jalan dari lembang, coblong ke pasar di kawasan pusat kota kala
itu (abad 18an), para petani yang hendak menjual hasil pertanian dan perkebunan
selalu pergi bersama-sama , karena alasan keamanan, konon pada masa itu jalan
menuju pasar di kota Bandung masih dikuasai para penyamun atau perampok,
sehingga para petani tersebut sering “silih dagoan” (bahasa sunda : saling
menunggu) di suatu tempat di kawasan Dago saat itu. Perkembangan selanjutnya
kawasan Dago berubah jadi kawasan villa, yang penataan ruangnya nyaris
sempurna, arsitek bangunannya pun banyak dirancang oleh arsitek terkenal pada
masanya. Karya kelompok arsitek Hindia Belanda NIAK (Nederland Indie
Arsitecture Krink) antara lain, Mclaine Pont, Schoemaker bersaudara, Gheijsels,
Albers, lalu kita mengenal Art Deco, Straightline Deco, Nautical Deco,Art
Nouveau, dan jadilah kawasan Dago sebagai kawasan villa yang nyaman dan elite
di Bandung pada saat itu. Perubahan demi perubahan terus terjadi di kawasan
Dago, setiap dekade selalu membawa cerita yang menarik.
Prof.dr.Koestedjo
SpB (94 tahun), seorang warga senior di Jalan Dago, beliau tinggal sejak tahun
1950an di Jalan Dago, pada saat kesempatan di awal tahun 2009, beliau
menceritakan “romantisme” masa-masa indah tinggal dikawasan tersebut.
“Kawasan
Dago di tata dengan apik, sehingga merupakan daerah hunian paling nyaman di
Bandung, jalannya lebar di kiri kanan tersebut dibuat trotoar yang ditumbuhi
pohon damar sehingga membuat nyaman pejalan kaki, rumah-rumah tanpa pagar,
halaman yang luas, jaln khusus untuk pengendara sepeda dan infrastruktur yang
baik”. Kemudia beliau mengatakan, bangunan tempat tinggal sering disebut dengan
Open Westersebouw (ruang terbuka mencapai 70% dari lahan tersedia). Pada akhir
pembicaraan beliau katakan dengan berbinar “indah san sangat nyaman”. “Sekarang
tetangga-tetangga saya adalah factory outlet, bank, restoran, rumah-rumah yang
tersisa pun kini berpagar tinggi” (tercatat tiada kurang dari 18 factory outlet
dan sejenisnya, 13 bank, 9 hotel, lebih dari 10 kafe/restoran, 3 perusahaan
asuransi, lebih dari 10 kegiatan usaha lainnya seperti toko swalayan, mall,
money changer, broker valas sampai dengan lembaga pendidikan), kemacetan
menjadi santapan setiap hari, sangat tidak nyaman untuk pemukiman, sudah lebih
dari 50 tahun Prof.dr.Koestedjo tinggal di jalan Dago, beliau mengatakan “saya
ingin menghabiskan sisa usia saya tetap menjadi warga Dago”.
Cerita
tentang jalan Dago seakan tak lekang oleh waktu, dari generasi ke generasi
selalu punya cerita tentang jalan ini, tulisan ini coba memotret situasi Dago
saat ini dengan segala problematikanya.
Sejak
berdirinya tahun 1898, sampai kota Bandung mendapat status Gemeente (kota
madya) pada tahun 1906 mulailah Bandung membangun layaknya sebagai sebuah kota
besar, pembangunan jalur jalan dalam kota bertambah dan dikembangkan, fasilitas
umum terus berkembang, gedung-gedung pertokoan , pemerintah, pendidikan,
lembaga-lembaga sosial terus dibangun era awal 20an sampai 1940-an, tentunya
dengan arsitektur yang khas, (sebagai contoh : RS. Borromeus di bangun tahun
1921, ITB tahun 1920) kemudian Bandung mendapat predikat Laboratorium
Arsitektur (Her Suganda, Kompas), Bandung masuk urutan ke 9 Cities of Art Deco
in the World. Berkembangnya Bandung sebagai sebuah kota besar didukng okeh
pemasangan rel kereta api pada tahun 1884 yang menghubungkan Batavia dan
bandung. Semakin banyaknya kegiatan pemerintah Hindia Belanda di Bandung telah
melahirkan kawasan pemukiman elite atau sering disebut dengan kawasan villa di
DagoStraat atau jalan Dago. Sejak tahun 1970 diganti namanya menjadi
Jl.Ir.H.Juanda, selain itu dikenal juga kawasan sayap Dago yang kini juga mulai
berubah fungsi menjadi pusat perniagaan.
Berikut
adalah periodisasi perkembangan Jalan Dago dari waktu ke waktu:
Perkembangan
Jalan Dago
..1915 Pembangunan Jalan Dago (Dagostraat) dimulai pada awal abad
19, dan perkembangannya menjadi lebih pesat setelah Bandung mendapat status
gemeente atau kotamadya pada tahun 1906. Rencana perluasan ke utara atau
Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord pada tahun 1915 yang berlangsung dalam beberapa
gelombang perpindahan kegiatan administratif Hindia Belanda menyebabkan
villa-villa berukuran besar dan sedang mendominasi Jalan Dago (S. Siregar,
1990).
1915-1945
Jalan
Dago merupakan salah satu titik pelestarian alam yang dilakukan oleh
organisasi masyarakat Bandoeng Vooruit, yang pada pertengahan
1930-an menghijaukan daerah aliran Sungai Cikapundung dengan pinus dan cemara
gunung.
Sejak
jaman pemerintahan Belanda hingga tahun 1950-an, kawasan Dago dikenal sebagai
kawasan perumahan elite yang dimiliki pemerintah Belanda. Dulu
kawasan Dago dirancang sebagai kawasaan perumahan kapling besar dengan
arsitektur Art Deco peninggalan zaman Belanda.
1945-1970
Kekuasaan
kemudian beralih dari pemerintahan Hindia Belanda ke pemerintahan Republik
Indonesia. Pada awal kemerdekaan, jalan Dago tetap berfungsi sebagai hunian dan
kondisi ini bertahan hingga akhir dekade 1960-an. Perubahan yang terjadi
umumnya bersifat kepemilikan, dari orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia.
Thn
1950-an Dagostraat berubah nama menjadi jalan Dago
Pada
tahun 1960an terjadi perubahan-perubahan. Jalan Dago diperlebar sebesar 2 meter
kiri kanan jalan mengorbankan pohon-pohon besar, namun suasana masih sama,
yaitu derah permukiman yang sangat ideal, dilengkapi dengan fasilitas
pendidikan, rumah sakit, apotik, dan tempat perbelanjaan.
1970-1990
Pada
tahun 1970-an jalan Dago berubah nama menjadi Jln. Ir.H. Djuanda
Pada
dekade 70-an terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di pusat kota, terutama di
antara pengusaha kecil dan menengah, menyebabkan meluasnya pergeseran fungsi
yang terus mendesak ke hunian-hunian terdekat sehingga Jalan Dago pun terkena
imbasnya.
Perubahan
Dago dari daerah hunian menjadi wilayah komersial dimulai tahun 1970-an
Kondisi
kawasan yang semula merupakan perumahan elite sudah mulai mengalami perubahan
pada tahun 1980-1990 dengan adanya supermarket Superindo (dahulu Gelael) pada
tahun 1987. Adanya sarana komersial tersebut menjadi suatu daya tarik bagi
masyarakat yang tinggal disekitar Dago untuk mengunjungi kawasan tersebut
1990-sekarang
(2006)
Dikeluarkannya
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) wilayah Cibeunying thn 1995-2005 yg
menetapkan jalan Dago sebagi kawasan penggunaan campuran perumahan, jasa,
perdagangan, perkantoran, dan pendidikan dengan azas peruntukan lahan yang
bersifat luwes.
Pada
dekade ’90-an juga bermunculan beberapa bangunan yang tingginya melampaui enam
lantai. Transformasi fungsi dan bentuk yang drastis ini juga dipicu oleh
penerapan kebijakan floating functional zone bagi area tersebut.
Factory
outlet sudah ada di Kota Bandung sejak tahun 1990-an dan makin berkembang pada
tahun 1999-an
Jaringan
jalan dalam kawasan ini (sayap Dago) antara lain :
1.
Jalan Ir.H.Juanda (Dagostraat)
2.
Jalan Raden Patah (Pahud de mortagneslaan)
3.
Jalan Sumur Bandung (Van Hoytemaweg)
4.
Jalan Teuku Umar (Zorgvlietklaan)
5.
Jalan Taman Sari (Huysgenweg)
6.
Jalna kiai Luhur (Van Ostadelaan)
7.
Jalan Pager Gunung (Jan Steenlaan)
8.
Jalan Surya Kencana (Borromeuslaan)
9.
Jalan Imam Bonjol (Peltzerlaan)
10.
Jalan Ganesha (huygensweg)
11.
Jalan Tirtayasa (Frisiastrat)
12.
Jalan Sultan Agung (Heetjanweg)
13.
Dan jalan-jalan lainnya.
Tipe
bangunan yang selalu ada dengan karakteristik villa yang mengacu pada
arsitektur modernisme Eropa tahun 1920 dan 1930an, kemudian seiring dengan
perkembangan jaman, kawasan ini beubah pesat menjadi kawasan niaga seperti yang
kita lihat saat ini, dan tentunya membawa dampak pada bangunan-bangunan
bernilai arsitektur tinggi (versi Bandung Heritage), dampaknya adalah bangunan
itu harus beralih fungsi, dan yang memprihatinkan adalah hilangnya
bangunan-bangunan yang merupakan heritage kota Bandung. Kini kita tidak dapat
bicara lagi Building Coverage Ratio 70 : 30 (70% lahan terbuka) seperti pada
jaman kolonial dahulu, lihatlah lahan yang dijadikan tempat parkir factory
outlet, atau yang luar biasa lihatlah POM bensin milik Petronas di Jl. Dago.
Dago
dapat diidentifikasikan dengan pusat anak muda mengaktualisasikan dan
mengekspresikan dirinya baik secara perorangan ataupun komunitas (kelompok),
mengapa harus di Dago? Apakah memang warga Bandung tidak mempunyai ruang publik
selain Dago? Atau Dago telah menjadi bagian dari tren gaya hidup anak muda
Bandung.
Pada
tahun 1950 sampai dengan 1970an kawasan Dago masih merupakan kawasan pemukiman
elite dan berkelas selain itu suasana asri dan nyaman. Pada era tahun 1970
sampai 1980an dago mulai menjadi tempat anak muda berkumpul. Jalan yang lurus
(panjang jalan Dago sekitar 2,5 km) sering dijadikan arena balapan motor dan
mobil, atau menjadi jalan wajib konvoi klub kendaraan bermotor pada saat itu,
biasanya keramaian saat itu hanya terjadi pada sabtu malam, hari biasa tidak
terjadi kemacetan di jalan Dago seperti sekarang ini.
Pada
era 1990an sampai dengan sekarang telah terjadi perubahan besar dikawasan Dago,
yang merupakan bagian dari permasalahan Pemkot Bandung. Salah satu permasalahan
adalah berkembangnya penyalahgunaan fungsi dari bangunan yang ada akhirnya
berdampak pada pelestarian bangunan konservasi yang berada di kota Bandung
terutama sepanjang jalan Dago. Kemacetan yang luar biasa pada saat long weekend
, carut marutnya billboard, tidak berfungsinya infrastruktur karena pelanggaran
tata ruang kawasan dago. Maraknya tren factory outlet secara perlahan tapi
pasti membuat kawasan Dago menjadi sasaran para investor untuk mendirikan
factory outlet, distro, restoran, hotel, bank, POM bensin dengan mengabaikan
aturan rencana tata ruang kota serta ada pula beberapa bangunan yang terdaftar
dalam kategori bangunan cagar budaya yang dikorbankan hanya untuk kepentingan
komersial semata (contoh : bangunan jalan Dago nomor 118, tepat dipertigaan jalan
Teuku Umar merupakan bangunan bergaya Art deco dengan arsiteknya Prof.Ir.C.P
Wolff Schoemaker, masuk dalam list yang dilindungi versi Bandung Heritage).
Setiap
malam minggu pada saat ini kawasan Dago masih menjadi destinasi anak muda
selain untuk menunjukkan eksistensinya juga menghadirkan kegiatan-kegiatan
kreatif yang meramaikan kawasan Dago menjadi sebuah bagian gaya hidup anak muda
Bandung, seperti pertunjukkan musik yang meriah dibeberapa titik kawasan Dago,
komunitas-komunitas motor (klub motor) memarkir motornya dengan rapih sehingga
nampak estetis, komunitas under ground dengan aksesorisnya yang unik tampak
berkumpul di sekitar taman Fleksi dan sudut-sudut toko Circle K, terlepas dari
pandangan negatif dari sebagian wakga kota terhadap mereka. Bahwa mereka juga
adalah warga bandung dan mempunyai hak mengisi ruang-ruang di kawasan Dago.
Di
sekitar taman cikapayang, komunitas BMX dan komunitas Skate Boarder berkumpul
sambil sesekali menunjukkan aksinya, ada pula mahasiswa-mahasiswa (nampaknya
dari kalangan berkecukupan dan mapan) yang ngamen bergerombol asal jadi dan
asal bunyi meminta bayaran pada pengendara mobil yang terjebak macet (kreatif
kah?), dan ini menggeser para pengamen jalanan yang benar-benar mencari uang
untuk makan. Radio bus station menyiarkan keadaan jalan Dago sehingga
mengundang emosi rasa penasaran anak muda untuk sekedar melintasi kawasan Dago
yang macet. Sementara parkiran factory outlet penuh dengan mobil dengan plat
nomor B, seakan tak puas-puasnya berbelanja baju setiap minggu.
Daya
tarik kawasan Dago memang tidak pernah luntur, hal ini dibuktikan dengan
diadakannya tiga tahun berturut-turut Festival Dago yang menjadi lautan manusia
dikawasan Dago, dan kawasan Dago diusulkan menjadi titik kreatifitas kaula muda
Bandung.
Perjalanan
sejarah Dago belum berakhir entah sampai kapan, popularitas Dago seakan menjadi
magnet bagi banyak orang untuk tetap datang dan kembali ke Dago. Perkembangan
bisnis di Dago cenderung tidak terkendali, 80% lahan hunian kawasan ini telah
mengalami perubahan peruntukan dari hunian ke komersial.
Perubahan
ini pada akhirnya berdampak luas pada hunian ke komersial. Perubahaan ini pada
akhirnya berdampak luas pada kawasan Dago itu pada keseluruhan, selain
hilangnya lahan terbuka hijau, rawannya pembongkaran bangunan-bangunan
heritage, kegiatan ekonomi yang terjadi dikawasan Dago ternyata tidak didukung
oleh infrastruktur yang memadai (contoh : kemacetan). Saat musim hujan
saluran-saluran drainase di kawasan Dago tidak mampu lagi menampung limpahan
air sehingga jalan Dago berubah menjadi sungai. Kawasan Dago yang selama ini
dibanggakan sebagai icon Bandung yang cantik dan nyaman berubah menjadi kawasan
Dago dimata anak-anak muda tetap menjadi tempat yang tepat untuk berekreasi,
beraktifitas, dan mengaktualisasikan diri.
Banyak
pemerhati kota (perorangan, LSM, Institusi Pendidikan) yang terus mendesak
pemerintah kota Bandung agar melakukan pembenahan kawasan Dago dengan
menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dago masih menjadi magnet
walaupun pengelolaannya carut marut, apalagi jika di tata dengan lebih baik.
Untuk
mempermudah akses antardaerah di kawasan Bandung, berikut adalah angkutan umum
yang tersedia di Bandung:
A. Angkot:
1.
ABD. MUIS – CIMAHI
2.
ABD. MUIS – SOREANG
3.
CIMAHI – LEDENG
4.
CICAHEUM – CILEUNYI
5.
ABD. MUIS – DAGO [hijau - orange]
6.
ABD. MUIS – CICAHEUM via ACEH [hijau - merah]
7.
ABD. MUIS – CICAHEUM via BINONG [hijau - kuning]
8.
CIBIRU – CICADAS [hijau]
9.
CIMAHI – ST. HALL
10.
ABD. MUIS – LEDENG [hijau - biru muda]
11.
ANTAPANI – CICADAS PP
12.
ANTAPANI – UJUNG BERUNG
13.
BABATAN – CIGONDEWAH
14.
DAGO – RIUNG BANDUNG [putih - hijau]
15.
CICADAS – ELANG via CIHAPIT [kuning - merah - hijau]
16.
CICAHEUM – CIROYOM [hijau - coklat]
17.
CICAHEUM – CIWASTRA – DERWATI
18.
CICAHEUM – GEDEBAGE via UJUNG BERUNG
19.
CICAHEUM – LEDENG [hijau - hitam]
20.
CIMINDI – SEDERHANA
21.
LEDENG – MARGAHAYU RAYA [biru - kuning]
22.
CIBADUYUT – CICAHEUM
23.
CIBADUYUT – KARANG SETRA
24.
Gunung Batu – ST. HALL
25.
CICADAS – ELANG [merah - hijau]
26.
CIJERAH – CIROYOM
27.
CIJERAH – CIWASTRA – DERWATI
28.
GEDEBAGE – UJUNG BERUNG PP
29.
CIKUDAPETEUH – CIROYOM [kuning - putih - hijau]
30.
CIJERAH – SEDERHANA
31.
CIROYOM – SARIJADI
32.
CIUMBELEUIT – PASAR SEDERHANA – ST. HALL via EYCKMAN [hijau - biru muda]
34.
CIUMBULEUIT – ST. HALL via CIHAMPELAS [hijau tua]
35.
CIWASTRA – TEGALLEGA
36.
DAGO – ST.HALL [hijau - kuning tua]
37.
LEMBANG – ST. HALL [krem - putih]
38.
BUAH BATU – SEDERHANA [hijau - hijau]
39.
ANTAPANI – CIWASTRA (PP) [hijau]
40.
BUMI ASRI – CIROYOM [hijau - merah]
41.
CARINGIN – SADANG SERANG [biru langit - hijau]
42.
LEDENG – ST. HALL
43.
SADANG SERANG – ST. HALL [hijau - kuning muda]
44.
SARIJADI – ST. HALL [hijau - coklat tua]
45.
ANTAPANI – CIROYOM [kuning]
46.
ABD. MUIS – ELANG [oranye - hijau]
47.
DIPATI UKUR – PANGHEGAR PERMAI via CINAMBO [putih-kuning-hijau]
48.
GEDEBAGE – ST. HALL [hijau muda]
B.
Bis Kota :
1.
ALUN-ALUN – CIBURUY
2.
ANTAPANI – KPAD – GEGER KALONG
3.
BYPASS – LEDENG
4.
CIBEUREUM – CICAHEUM
5.
CIBIRU – KEBON KELAPA
6.
CICAHEUM – KEBON KELAPA
7.
CIROYOM – KIARA CONDONG
8.
DIPATI UKUR – JATINANGOR
9.
DIPATI UKUR – KIARA CONDONG
10.
DIPATI UKUR – KOPO
11.
ELANG – KIARA CONDONG
Stakeholder
yang berperan dalam perkembangan Jalan Dago antara lain:
1.
Penjajah asal Belanda yang memiliki perkebunan, salah satunya adalah Andreas de
Wilde yang memiliki gudang kopi di lokasi yang sekarang menjadi Balaikota di
Jalan Wastukencana. Dialah salah satu pionir yang membangun rumah di Jalan Dago
atas
2.
Masyarakat, yang aktivitas nya juga semakin menunjukkan identitas kawasan Dago.
Mereka saling menunjukkan eksistensi komunitas tertentu seperti klub-klub
otomotif.
3.
Pemerintah Daerah Kota Bandung
4.
Badan Penelitian dan Pengembangan –Departemen Pekerjaan Umum
5.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
6.
Pihak Swasta
sumber :
Komentar
Posting Komentar